Sunday, November 16, 2008

terhenti

Indah sekali semesta pagi ini. Gumpalan awan seakan bergumul dengan cerah birunya langit yang meminta perhatian.
Sudah kau dapat yang kau ingin wahai penghias hari.
Aku tak sadar. Aku begitu jauh mencari. Menatap dingin ke hamparan udara. Mengulik kantung rahasia kehidupan yang teramat rapat terbungkus. Dibalut sepinya ruang rasa ini.
Entah apa yang masih saja terus aku cari. Hanya hampa kerap memasung hati. Serasa tak pernah cukup asa untuk dapat raih moksa kebebasan dari lenguhan si perantara nyawa. Lebih dari merindukan rembulan. Tak cukup ditampung oleh rongga pegunungan. Serasa tak nyata. Tetapi ada.
Menahun sudah aku berbalut gundah ini. Timbul tenggelamnya menjadi nafas tatih kaki lalui perjalanan berliku yang belumlah temukan tepi. Lelah akhirnya berkelakar juga. Hibur asa temani sunyi bermain dengan sepi.
Kemana pergi setelah ini?
Entahlah.

Sunday, November 9, 2008

sungguh aku penasaran

Saat sebuah jalinan kata tercipta.
Pada akhirnya, aku ingin tahu apa yang menjadi pikirmu. Pendapatmu.
Terlebih reaksi wajahmu seketika kau selesai membaca apa yang menjadi rasa hati terpaparkan melalui bahasa manusia.

Mengernyit bingung seraya menyatukan kedua alis. Tersenyum, terbahak hingga terpingkal. Atau berujar, ”Ah..khas kamu sekali..”
Atau mungkin terlalu serius menanggapi celotehan hati sampai membuatmu melakukan kontemplasi tingkat tinggi.

Sungguh aku penasaran.

memonopoli hatimu

Jika benar cinta. Harusnya tak begini pedih terasa. Yang aku tahu, cinta itu indah dan indah itu cinta. Nyatanya, kali ini yang ada justru nelangsa yang memasung jiwa. Ahh..cinta. Apalagi keonaran yang kau buat untuk hati yang sudah kembali temukan tenang.
***

Kulepaskan segala harap untuk miliki dirimu.
Meski kau tak akan pernah tahu seberapa besar aku menginginkan itu.
Mendambamu setia disisi untuk temani hati jalani sisa hari.
Hanya untukku.
Kutanggalkan segala ingin untuk merengkuh penuh dirimu.
Meski kau tak akan pernah tahu seberapa dalam aku mencintaimu.
Mendambamu singgah lalu tinggal untuk genapi hati mendulang kasih.
Hanya untukku.

Kuresapi yang ada di depan mata.
Kunikmati apa yang begitu membelenggu jiwa.

Kurelakan asa yang tak berkesudahan berlalu.
Kubiarkan hati berpeluk dengan pilu.

Kusadari kini.
Cinta tetaplah indah.
Indah sucinya cinta.
Walau tak selalu berakhir memiliki.
Teramat sangat cintaku sulit terpungkiri.

dua rasa lebih..

Ketika dua rasa menjangkau batasnya. Menghalangi luapan lava sentuh disekujur magma tubuh yang meminta pinta. Menjadikannya dingin subur dipenuhi benih hasrat ingin.
Apakah itu cinta?
Ketika dua rasa temukan sendinya. Mencipta engsel-engsel seni kasih yang saling melindungi hati dari asap keresahan. Menjadikannya ektase rindu nikmat tiada tara.
Apakah itu cinta?
Ketika dua rasa temukan damainya. Bersemanyam tenang dalam antara kabut dua hati yang haus akan satu sama lain. Menjadikannya nafas baru pelik kehidupan.
Apakah itu cinta?
Ketika dua rasa mengais harapnya. Berhenti memilah benar salah cinta atau tidak yang seringkali warnai tanya. Menjadikannya lepas memendar satu rasa pelebur dogma.
Tentulah lebih dari cinta.
Belum pula kutemukan istilah yang tepat.

Tuesday, November 4, 2008

pesan singkat tengah malam

Saya hanya suka tulisan ini. Tidak mengurangi apapun. Justru menambah arti.
Tambahi pula rona pagi dengan indahnya rupa cinta dan sejuknya aroma keanggunan kasihmu.
Penawar kilatan rindu yang berkelebat gaduh tak sabar menanti turunnya rintik air kedamaian.
Tak hanya itu.
Lebih lagi.
Tahu pun menjadi karibmu.

Monday, November 3, 2008

kabar hati

Dirinya bertanya kepadaku.
"Masihkah ada aku di hatimu?? Masihkah ada kita??"
Diam tak hanya seribu bahasa, tetapi jutaan bahkan lebih lagi kalau bisa, tengah membungkam katup suaraku. Begitu kuatnya. Hingga pada akhirnya kau keluarkan meriam sedu sedan yang menghancurkan tawa yang ada sejak sore tadi. Tak pula itu membuatku sanggup berkata padamu. Pikiranku tengah sibuk berkelana dalam keruhnya apa yang menjadi inginku.
Sudah berulangkali aku katakan bahwa membangun kembali jauh lebih sulit dibandingkan menghancurkan sesuatu. Tapi sepertinya dirimu tak pernah bosan untuk meminta kembali satu. Kali ini, dengarkan.
Aku tak lagi sama. Kita tak lagi sama. Dan semua tak lagi bisa sama.
Sadarkah?
Adalah hati yang kau permainkan. Adalah hati yang kau tinggali gurat dalam. Adalah hati yang telah kau hempaskan, kau injak dan kau sepak repihannya hingga beberapa terbang tersapu angin amarah.
Jikalaupun hati kembali terbentuk. Tidaklah bisa utuh. Akan tertinggal bekas pedih yang sempat kau torehkan. Lubang bekas tikaman bahasa yang sempat kau lontarkan.
Akahkah sedia kau terima hati yang seperti itu?
Aku tak sepenuhnya dapat yakin. Walau ucapmu seringkali bernada begitu.
Sadarlah.
Kita sudah berpisah di persimpangan yang kita temui dahulu. Harusnya kau tak lupa, bahwa kau lah yang meninggalkan aku di pertigaan emosi, cinta dan harga diri. Menjauh kemudian buramkan segala impi yang pernah kita bicarakan berdua. Lalu gelap pun tiba.
Saat ini. Masing-masing kita sudah melangkah ke cabang yang berbeda. Biarkanlah begini adanya. Sebab tak ada hati yang bisa kau paksa. Tak ada rasa yang dapat kau kuasa. Seperti bulan yang tak terbit kala siang merajai hari yang ada.
Dan apabila dirimu memahami. Perjalanan kita masihlah panjang. Tersedia ratusan kelokan. Kerikil tajam. Atau bahkan sebuah batu besar yang siap menghadang di depan sana. Pun satu lagi persimpangan yang bisa saja mempertemukan kita kembali dari perjalanan panjang ini.
Mereka tak tahu. Kau tak tahu. Begitu pula diriku.
Jadi, untuk apa bersedih.
Untuk apa bertanya.
Hidup adalah tentang berbagai pilihan.
Silakan memilih. Apakah akan tetap tinggal. Atau berlalu.
Karena jika kau bertanya kabar hati. Ia masih terlalu memerah luka kini.

surat pinta

Aku tahu.
Sedemikian rupa kau menjauhi aku dari hadap galau itu sembari berkutat dengan hatimu untuk selundupkannya ke dalam jurang misteri yang terdalam.
Tapi kau tahu.
Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Begitupula dirimu yang tak selalu bisa bersembunyi dengan baik dibalik bayang-bayang senyum khas milikmu.
Aku tahu ada sesuatu.
Bisakah kau katakan apa??

Aku tahu.
Kau belumlah sudi mengucap itu.
Aku mencoba mengerti.

Setengah jam berlalu dan aku masih mendapatkan tatap dan raut sama. Rasa yang terlihat gelisah. Ingin berujar namun tertahan oleh kelunya diri yang enggan peroleh reaksi.

Aku.
Tidak lagi bisa.
Tak lagi ingin menunggu apa.
Ayo segera katakan!
Jangan buat aku penasaran lebih lama dan lepaskan liarnya duga.

Hingga akhirnya merajuk pun tak lagi tinggal diam

Baiklah.
Kita sudahi saja.
Aku hentikan semua kesoktahuanku atas apa yang terasa di hati milikmu. Walau masih tersisa sedikit ganjalan dan tanya menggeliat pelan. Tapi aku tak ingin menyudutkanmu lebih lama lagi.

Satu hal yang hendaknya kau tahu. Reaksi yang menyembul bukanlah karena apa yang kau katakan namun lebih kepada penundaan yang terjadi.
Bukankah sebelum ini kau pernah berjanji bahwa akan mengatakan semua yang mengganggu hatimu bila ada kaitannya dengan hatiku??
Aku tak mengerti.
Kau tertular virus lupa yang begitu dahsyat atau aku yang salah menyerap makna perbincangan kita dahulu.
Atau mungkin, mendadak apa yang ada di depanmu kala itu tak lagi penting.
Atau justru kau ingin menyudahi semua ini namun tak tega dengan aku yang semakin terlihat ringkih.
Entahlah.
Hanya dirimu yang tahu.
Dan sudah kusebutkan tadi kalau aku tak ingin menyudutkanmu atas keingintahuanku yang tak mutu.

*Kalau boleh aku meminta.
Tolong.
Jangan lagi ada rahasia.
Jangan lagi mendusta hati.
Jangan lagi menyimpan tanya.
Jangan lagi ingkari janji.
Sebab hanya segelintir yang dapat dipercaya.
Dan kumasukkan kau menjadi salahsatunya.

Sunday, November 2, 2008

tenangkan aku

Tenangkan hati.
Aku tak lupakan dirimu meski sedang tak bersama kini.
Aku juga tak menjauhimu sejak semalam tadi.
Justru yang terasa dariku adalah sebaliknya.
Sepertinya kau berhenti.
Menjauhi diri.

Haruskah aku tenangkan hatiku?
Saja sendiri.