Tuesday, September 30, 2008

ingin bertemu

Sunyinya malam tak sedikitpun membuat sepi hati. Tetap saja riuh dengan segala pikir tentangmu. Segala kenang tentang kita.
Ingatkah ketika kita berada di taman itu. Saat pertama kali kau memperlihatkan seulas senyum yang tak akan mungkin dapat aku lupakan. Senyum terindah dari orang yang paling indah dalam hidupku. Senyum disertai teduhnya mata yang memancarkan cinta sepanjang masa. Senyum yang hanya ditujukan untukku seorang. Senyum khas dari kekasihku.
Aku rindu senyum itu.
Seharian ini aku bertanya-tanya. Sedang apa kah kau disana? Akan kah kau merindukanku, sayang? Tahu kah kau bahwa aku sangat ingin bertemu? Bahwa aku sangat mencintaimu?
Oh kekasihku.
Disatu malam ini. Aku ingin sekali bertemu.

akan selalu

Tak hanya lagi. Tapi selalu.
Tak hanya lagi. Tapi sedari dulu.
Tak hanya lagi. Tapi melulu.
Begitulah yang terasa oleh hati.
Begitulah yang terdengar dari hati.
Begitulah yang terlihat didalam hati.
Akan selalu.

hati....?

Rasa sakit menusuk-nusuk tak kenal waktu. Tidak biasanya seperti ini. Rasanya tidak ada yang salah dengan apa yang masuk kedalam melalui mulut. Namun mengapa sepertinya lambung tak henti memanggil.
Baiklah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sudah dipenuhi semua ingin, mengapa masih saja meminta lebih.
Adakah sesuatu yang mengganggu?
*Hati.. Baik-baik saja kah?

Monday, September 29, 2008

malam, terdengarkah?

Malam. Jangan lagi dingin kali ini. Memang telah tersedia selimut biru disudut tempat tidurku. Sama seperti bintang yang kerap temanimu kala terjaga. Tapi saat ini, aku tak ingin pembatas itu. Aku tak mau ada sesuatu lain diantara kita. Hanya butuh kamu, malam dan aku. Bersama kita bisa melewati semua. Aku yakin itu.
Malam. Selubungi aku dengan saput kesunyian dan sinar bintang juga bulan temanmu.

Sunday, September 28, 2008

iloveyou, iloveyou too

"I love you"
"I love you too"
Udara diluar rasanya tidak sepengap ini. Karena hujan baru saja menyapa rerumputan. Tapi mengapa tubuh ini seperti mengalirkan sebuah sungai berisikan lava. Mendadak hangat dan memanas kemudian. Sedikit rasa ingin tahu yang menelisik. Kita yang membuatnya atau memang sekarang ini telah ada hujan jenis baru yang bersuhu lebih tinggi daripada biasanya.
Kau masih menggenggam tanganku diatas dadamu yang berdegup tidaklah pelan. Seolah meminta. Seolah aku dapat menembus kedalam untuk memeluk jantungmu agar dapat kembali tenang menikmati adanya kita. Berdua.
Erat kau dekatkan kembali kepalaku hingga dapat kuhisap wewangian yang kau berikan pada tubuh dan lehermu. Hmm. Tak penting lagi semua pedih itu. Sekejap segala resah menjauh pergi. Kau adalah damaiku.
"Lima menit lagi ya?" Pintaku manja.
Dan aku pun berbinar setiap kali kau menjawab.
"iya, sayang."
Sebenarnya kau pun tahu pasti. Lima menit yang kuminta barusan selalu memuai menjadi puluhan menit yang akan kau sadari beberapa jam kemudian. Biasanya, akan dimulai dengan aku yang bercerita mengenai temanku atau kekonyolan yang pernah aku lakukan sendiri pun juga bersama mereka. Menyerukan celotehan spontan yang membuatmu mengikik lucu. Tak jarang kau bergumam disela obrolan yang lagi-lagi aku balas dengan 'I love you too".
Tak terasa malam pun beranjak larut. Jika sudah begitu, tibalah waktu menjadi musuh kita. Setelah akhirnya melihat kearah jam yang terduduk angkuh diatas meja, lambat laun raut wajahmu akan berubah dan lalu berseru.
"Cepet banget sih jamnya bergerak!"
"Haha."
Tawaku pun terdengar. Aku selalu menyukai apa-apa yang diproduksi dari bibirmu. Manyun milikmu. Suaramu. Bahkan disaat kau sedang berceramah tentang pentingnya kesehatan. Aku selalu ingin ditemani oleh suara itu. Menenangkan. Apalagi disaat seperti ini. Saat berpisah denganmu menjadi teramat berat.
"Yaudah. Kalau gitu lima menit lagi boleh kah?" Rengekku.
"Selalu, sayang." Balasmu mesra.
Bintang.
Memelukmu begitu menidurkan galau hati.
Dan aku ingin lagi.

sebuah janji

Baru saja saya menyadari. Ternyata telah lama berlalu.
Kembali saya melihat tatapan itu. Teduh menyirami hati. Menghembuskan aroma sayang ditengah kerontangnya jiwa. Melukiskan rasa cinta diatas coretan tak beraturan yang saya ciptakan dan kemudian lahirlah sebuah keindahan.
"Janganlah berhenti menatapku. Tetap terjaga. Kalau bisa, hingga tak lagi ada esok ataupun lusa. Hari ini pun cukup. Asalkan kau tetap ada.
Biarkan aku tuai segenap pancaran mata. Kalau mungkin, hingga tak ada lagi waktu yang meminta. Cukup berhenti sampai disini. Asalkan kau terus memelukku sendiri."
Baru saja saya mengerti. Telah lama saya tenggelam dalam pekatnya sebuah kesunyian yang tak lagi dapat bermuara karena terdiam. Tak kuasa maju mengalir. Kini, lautan hadir tepat diseberang sana. Menanti untuk melabuhkan semua.
"Mari." Ajakmu sembari meraih lalu menggenggam tanganku. "Akan kutemani dirimu hingga tiba disana." Kau lanjutkan dengan merengkuh tubuhku merapat.
"Maukah kau berjanji?" Tanyaku terbata.
"Apa?" Sahutmu sambil membelai helaian rambutku yang tak terikat sempurna.
"Tetap melihatku. Meski aku sudah berpaling. Teruskan menatapku. Meski hanya terlihat punggungku. Karena entah bagaimana, aku bisa merasakannya meski aku tak melihat keduanya."
Kau menghela nafasmu sejenak. Terhirup dalam olehku. "Baiklah."
Kau melepaskan genggamanmu. Lalu perlahan menautkan kelingking kananku dengan milikmu. Disertai sentakan lembut ibujari.
Dan kau pun mengecupku.
"Aku janji."

Saturday, September 27, 2008

waktu

Waktu.. Tunda dulu keberangkatanmu. Belumlah aku selesai bersiap. Aku ingin tampil cantik. Anggun. Juga mempesona. Bisakah sediakan sekotak lagi tunggu untukku?
Jangan dulu beranjak dari sana. Sebab aku tak ingin membuatmu termenung lama. Diam saja hingga kuberi kabar. Aku tak akan lupa. Percayalah. Aku hanya tinggal bersolek. Semua hal penting telah aku persiapkan. Jadi, bersediakah menunggu?
Waktu.. Belum. Masih belum selesai. Dapatkah bersabar sedikit lagi? Aku tahu kalau aku keterlaluan. Memanfaatkan ketenangan yang selama ini ditunjukkan. Dan berasumsi kau memiliki segudang itu. Tapi tidak. Jangan berpikir seperti itu. Aku menghargaimu. Sangat. Sebab kau hanya bisa berjalan. Bukan berlari. Berhenti. Atau tiba-tiba balik kanan kemudian lanjut melangkah. Aku menyadarinya. Itu sebabnya aku memintamu untuk menunda keberangkatanmu. Untuk menjemputku. Singgahlah dahulu di taman ria. Mau kah?
Waktu.. Masihkah kau mendengarku?
Waktu.. Masihkah kau ada disana? Dirumahmu.
Waktu.. Mengapa rasa sakit itu mendera? Perlahan aku melayang. Tak lagi berpijak. Tunggu.
Waktu.. Sudahkah kau tiba lalu merengkuh aku?
Sudah.

ada yang pergi

Ada yang pergi. Tanpa tanda.
Satu, dua atau tiga hari kemudian kembali.
Ada yang pergi. Seketika. Lalu berlari. Hiraukan sebuah penantian sampai akhirnya menampakkan diri. Lagi.
Ada yang pergi. Tiba-tiba datang untuk selanjutnya beranjak dari sisi. Berulangkali.
Ada yang pergi. Bersama sepi.
Hingga suatu waktu terlihat sudah tak lagi sendiri.
Ada yang pergi. Mengendap-endap. Enggan mengerti bila dinanti. Semakin menjauh. Menghilang. Tak lagi kembali hingga kini.
Ada yang pergi...

ada yang datang

Ada yang datang. Singgah sesaat. Tak berapa lama lalu berlalu.
Ada yang datang. Sempat tinggal satu dua waktu. Kemudian hilang.
Ada yang datang. Tinggal. Namun memutuskan untuk pergi disuatu hari yang kelabu.
Ada yang datang. Menetap. Dan hingga kini masih tetap setia tanpa berencana sedikitpun untuk mengembara mencari taman hati lain yang lebih hijau, ungu atau bahkan jingga.
Ada yang datang...

aku mencintaimu lebih

Sebelum semuanya berlalu. Sebelum pertahananku goyah lalu runtuh terpugar sempurna. Sebelum waktu perlahaan meredup kemudian padam. Sebelum aku beranjak. Sebelum kau pergi. Dan sebelum adanya kita terbelah oleh janji. Terpisah didinginnya waktu pagi. Melepaskan tautan kelingking dan kecupan ibu jari. Hingga akhirnya aku, sendiri. Lagi.
Sebelum hari melahap itu semua. Tolong. Biarkan aku mereguk segala cinta hingga ke dasar palung hatimu. Semburkan seluruh limpahan rindu untuk kemudian aku nikmati hingga tetes yang tersisa terakhir.
Satu lagi. Biarkan aku merengkuhmu erat kedalam hangat tubuhku. Sampai kau dapat mendengar degup jantungku. Bersenandung dengan irama nafasku. Merasakan damainya dua hati yang menyatu. Lalu. Kututup dengan kecupan dikeningmu. Dipipimu. Dihidungmu. Dan berlabuh lebih lama dibibirmu. Hmm. Aku akan sangat merindukan ini. Nanti. Ketika tiba saatnya.
Terakhir, biarkan aku memuaskan diri menghirup aromamu. Menyelami nafasmu. Menatap teduhnya tatapanmu. Sebelum kau beranjak dari sisi. Mendekatlah kembali. Kali ini aku tidak akan lama. Janji. Hanya akan membisikkan sesuatu.
Aku mencintaimu lebih dari yang dapat kau bayangkan.
*+ Teruntukmu, dear.

ingin tak lagi mencintaimu

Aku berada diambang kelunya sebuah pengakuan. Menanti adanya kebebasan. Lepas dari belenggu yang melilit hari-hari hati. Sedikit lagi. Ya. Hanya tinggal sejengkal jari. Kemudian aku pun meragu.
Aku berada diambang kelunya sebuah pengakuan. Khawatir. Menduga puluhan sikap yang barangkali akan menyeruak dari dirimu sebagai reaksi dari kejujuran yang akhirnya terlontar. Perlahan. Kembali aku mundur teratur. Mungkin lain kali.
Aku berada diambang kelunya sebuah pengakuan.Berkelit dengan lincahnya hati. Kesana. Kemari. Hingga kemudian terdiam. Tak ada jalan melarikan diri. Tersudut. Lalu menyerah.
Baiklah. Aku berada ditepian tebing sebuah pengakuan. Kujemput jujur keluar dari persembunyiannya. Janganlah meronta. Tenang. Telah kusiapkan segala penawar luka. Tak ada yang terlewat.
Akhirnya. Aku berada ditepian tebing sebuah pengakuan. Tak lagi bisa meloloskan diri. Tetapi juga tak ingin lari. Lelah. Kuputuskan untuk berhenti. Sebab akan kuberitahu sesuatu. Dengarkan. Tolong simak baik-baik. Karena hanya satu kali aku akan mengucapkannya. Tanpa mengurangi keseriusanku. Sungguh.
Aku ingin tak lagi mencintaimu.
Maafkan aku.

*+ Sebuah rasa disuatu senja.

luka

Berarak segala luka memohon untuk disembuhkan. Satu per satu berlutut mengiba. Memancarkan rasa ingin dikasihani. Rapuh. Belum lagi satu selesai terobati, berceloteh gaduh lainnya meminta penawar pilu. Bisakah bersabar? Sebab aku hanya punya satu hati. Jangan menyerbuku berbarengan seperti prajurit siap perang, sebab aku bukanlah musuhmu. Hati, bukanlah lawanmu. Sebab ia justru penyembuhmu. Jadi, tunggu. Tunggu hingga tiba giliranmu.

tidaklah perlu kau tahu

Tak perlu menunggu terlalu lama. Aku tinggal tepat di sebelah rumahmu. Dalam hitungan menit pun aku sudah akan sampai disana. Bila kau mau. Setiap detik yang kau lewati akan aku penuhi dengan keindahan cinta. Kubasuh seluruh asa yang tertatih dibenakmu. Kurengkuh hatimu menuju rumah cinta yang sekian tahun lamanya telah kubangun. Untukmu seorang. Sekali lagi, bila kau mau.
Tak perlu lagi mencari. Wahai permata hatiku, semua telah tersedia. Semua cinta. Semua kasih. Jutaan kecup dan hangatnya pelukan. Kalau saja kau berkenan melihatnya. Tersedia tepat dihadapanmu. Dipelupuk mata hatimu, sekian rasa yang tercipta aku tata sedemikian rapinya. Hanya untukmu. Sekali lagi, andai kau melihatnya.
Tak perlu lagi merasa takut. Tidak. Aku tidak akan pergi. Aku akan tinggal. Di rumah cinta kita, sembari menunggu kau kembali pulang. Meski tak kau tahu. Sudah kupersiapkan mawar putih kesukaanmu. Juga bantal kesayanganmu. Tak lupa sabun mandimu. Resah. Ingin segera bertemu. Kunanti dirimu tiba di pintu itu dengan alunan nada syahdu. Aku cinta. Sekali lagi, meski kau tak tahu seberapa dalam.
Sekali!

*+ Saat hati inginkan sebuah cinta yang tak bersyarat.

Wednesday, September 24, 2008

baru saja menepi

Barulah hati menepi. Pada sesuatu yang entah berwujud apa.
Cinta?
Mungkin saja.

Setiap kali tak bersua, kurang. Sesekali tak bicara, hampa. Satu waktu tak berpeluk, gundah. Sempat sesaat hilang aroma itu, sesak.
Rindu kah?
Bisa jadi.

Menguasa relung hati begitu perkasa. Bersekongkol dengan padunya hangat sentuhmu, sesuatu itu menghimpit segala topeng kesunyian. Kekosongan. Kesendirian. Penyangkalan.
Entahlah bisa disebut apa. Lebih dari hanya sekedar rindu. Berlipat dari hanya sebuah cinta.
Yang pasti, sempurna! Seindah apa yang tercipta paling indah. Matahari. Bulan. Samudera. Hingga lukisan langit yang tak ternilai. Tak sedetik pernah terpikir untuk saya jual. Apalagi terbarter dengan suatu yang berharga sekalipun. Pun saya beri begitu saja.

Sesuatu itu, apapun bentuknya. Adalah milik saya. Yang hanya dapat terbagi dengan orang yang terpilih. Yang saya pilih.
Egois kah? Tidak penting bagi saya.
Tidak masalah juga mereka hendak beranggapan apa.

Saya bagian dari sesuatu itu dan sesuatu itu terkandung didalam intisari saya. Satu menyatu. Sekali ini, biarkan saya menghayati hidup saya dan menyelami semesta bersama hati juga sesuatu itu, entah apa.

*+ Tapi saya sangat menikmatinya.

Sunday, September 21, 2008

jika kau menikah nanti

Jika kau menikah nanti. Akankah aku hadir?
Untuk melihatmu bersama dirinya yang sayangnya bukan aku.
Bersanding di mesranya pelaminan dan indahnya persandingan.
Menyalami orang-orang yang menyambangi pesta yang kau persiapkan sedemikian rupa.
Menuai segudang doa demi pernikahan nan langgeng.
Untuk merestuimu.
Jika kau menikah nanti. Akankah aku rela?
Menanggalkan segala kita.
Memberi ikhlas senyum tanpa gurat dalam kecemburuan.
Menghadiahkan sesuatu yaitu kebahagianku.
Menyerahkan separuh nafasku untuk kemudian dimiliki oleh dia yang bukan aku.
Melepas sebagian diriku.
Jika kau menikah nanti. Akahkan aku?
Dapat mencinta tanpa hati yang sejak lama telah kau singgahi.
Merona tanpa kecupan kasih hadir disetiap malamku.
Tenggelam lalu disertai syahdu rintihan nan rindu.
Berani bermimpi untuk dirimu yang berlari mencariku dalam pekatnya kabut.
Tetap menanti hingga pagi ketujuh tiba.
Jika kau sudah menikah, nanti.
Aku akan pulang.

tak selalu indah

Tak selalu indah.
Apa yang terpaparkan di hadapan.
Indah, tak selalu.
Apa yang tersenandungkan di telinga.
Tak selalu indah.
Apa yang tersisipkan di relung rasa.
Indah, tak selalu.
Apa yang terlukiskan di kanvas kehidupan.

memberi

Sejauh manakah kemampuan kita dalam hal memberi?
Memberikan bantuan, baik dalam bentuk materi ataupun jasa. Memberikan dukungan. Memberikan doa. Memberikan perhatian. Memberikan segala yang kita miliki.
Memberikan segala yang kita mampu.
Memberi tanpa diawali oleh pemberian dari seseorang.
Memberi karena memang kita yang mengawali.
Mampukah?

Saturday, September 20, 2008

menerima

Sejauh apa kita bisa menerima keadaan orang lain tanpa melakukan penilaian apapun. Pengharapan apapun.
Bahkan pemaksaan dengan tujuan agar orang tersebut berubah mengikuti apa yang menjadi keinginan kita.
Bagaimana kalau orang yang dimaksud kali ini adalah orang yang paling dekat dengan dirimu. Yang tak mungkin ada istilah *mantan* untuk hubungan antara dirimu dengan orang tersebut.
Meskipun demikian, segala hal yang ada pada dirinya sungguh membuatmu kesal bukan kepalang.
Masih mampukah dirimu menerima?
Tanpa luapan emosi. Tanpa menyesali keadaan. Tanpa penyangkalan.
*Saya sedang belajar untuk itu.

aku adalah aku

tibalah pada sebuah wadah bagi saya untuk menumpahkan segala tentang saya dan mungkin dalam beberapa hal tertentu akan melibatkan orang-orang terdekat atau yang berada disekitar hari-hari saya.
Terima kasih.
Selamat menikmati.
*ay